Selasa, 13 September 2016

Cerpenku..


Jendela Kehidupan

Aku merasa ada sesuatu yang berubah. Diusiaku yang ke-17 ini, aku merasa lebih mengenalnya, lebih dekat dengannya. Tatapannya kepadaku pun berubah. Cara bicaranya juga berubah seiring berjalannya waktu. Mungkin ia menganggapku telah cukup dewasa. Ia kini sangat mengerti keadaanku. Galauku, bahagiaku, malasku, sedihku, kecewaku. Ia tahu semua apa yang aku rasakan. Remedial yang selalu datang menghampiriku saja tak jadi masalah untuknya, tak seperti sembilan tahun yang lalu.
Saat itu aku tak mengerti mengapa ia berjuang sampai sekeras itu. Segala cara ia lakukan agar aku mendapatkan peringkat pertama di kelas. Yang aku tahu itu hanyalah ambisinya saja. Mulai dari mengajariku membaca, menulis, sampai menghitung, tetapi itu hal biasa. Yang aku kagum adalah kemampuannya menguasai semua mata pelajaran,kecuali olahraga. Dipukul, dicubit, dibentak. Ya. Itu sudah menjadi hal biasa bagiku. Aku ingat ketika itu aku menangis, aku tidak ingin sekolah rasanya.
“Kalau kamu punya masalah, ayo cerita. Jadi nanti bisa kita selesaikan bersama-sama.”
Aku menggeleng. Diriku dipenuhi rasa takut dan malu. Aku hanya bisa menatap wajahnya dan tak mengucap satu kata pun. Setiap hari ia mengecek bukuku. Tak pernah bosan. Akulah yang bosan melihatnya seperti itu. Tangannya yang kuat membedah bukuku satu persatu, halaman demi halaman. Sampai akhirnya..
“Ketemu!!” ia menarik tanganku dan menyuruhku duduk disampingnya. Apa yang ketemu? Ia diam sejenak, tak lama kemudian ia berkata “Ayo kita mulai belajar.” Apakah ia tahu apa yang tidak kupahami selama ini? Ya. Materi pelajaran yang sulit . Hal yang membuatku menangis itu bisa ia atasi. Ia membuat ku memahami apa yang diajarkannya hanya dalam sekejap.  Lagi-lagi aku menatap wajahnya. Bagaimana bisa?
Bahasa inggris. Itu perkata mudah baginya. Matematika. Aku tak pernah meragukan kemampuannya dalam menghitung. IPA. Ia mengajariku seperti seorang ahli. Dan lihatlah. Angka seratus menghiasi buku tulisku setiap hari.
***
 “Fian..fian, main yok!” Begitulah temanku memanggil namaku. Ketika itu aku masih berumur enam tahun. Wajah bahagiaku muncul. Sampai ketemu nanti buku-bukuku, teman-temanku telah datang. Aku berlari meraih gagang pintu “Ya, tunggu.”
“Fiannya nggak boleh main!” Kata-kata itu melesat bersamaan dengan suaraku yang nyaring. Begitu cepat. Sangat cepat. Belum sampai aku membuka pintu, suaranya telah mengalahkanku. Teman-temanku pun akhirnya pergi. Ingin sekali aku mengejar mereka tapi apalah daya.
Namun ia tak sekejam itu. Hal itu ia lakukan jika aku belum mengerjakan pekerjaan rumah alias PR. Jika aku sudah mengerjakan PR ia memberiku kebebasan untuk bermain. Pernah, suatu ketika temannya teman sahabatku jatuh sakit. Sahabatku pun mengajakku untuk menjenguknya. Aku tak kenal bahkan tak tahu siapa orang yang sakit itu, namun sahabatku sangat memaksa agar aku menemaninya. Sebagai sahabat yang baik, kuturutilah keinginannya. Kami pergi setelah bermain lompat karet. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 05.00 sore hari. Hatiku sedikit bergemuruh ketika ingat sebuah pesan yang kudapat sebelum berangkat. “Ingat, jangan main sampai maghrib!”
Entah kenapa waktu berjalan begitu cepat. Bedug telah berbunyi. Azan maghrib pun berkumandang. Bagaimana ini? Kakiku gemetar. Akupun mengajak sahabatku untuk pulang. Setelah berpamitan aku pun lari seribu kaki bak maling motor yang dipergoki warga telah mencuri motor ninja.
Akhirnya sampai di rumah. Pelan-pelan pagar kubuka. Berdecit namun sedikit. Lalu kuketuk pintu tiga kali. Tok, tok, tok. Tak lama pintu pun terbuka dan sesosok wanita dengan menggunakan mukena berdiri tepat di depanku. Tatapan matannya yang tajam tertuju kepadaku. Kami saling menatap. Kuharap ia memalingkan wajahnya. Ternyata tidak, akulah yang kalah, memalingkan wajahku ke arah tanganku yang gemetaran. “Tidak boleh main.” Itulah kalimat yang ia lontarkan sebagai hukuman kepadaku. Bukan. Mungkin itu sebuah hadiah yang lama kelamaan menjadi kebiasaanku, bahkan menjadi gaya hidupku sampai saat ini.
Sejak saat itulah, sampaiku beranjak dewasa, aku tak pernah membuang waktuku untuk bermain di luar rumah. Ke bioskop. Tidak. Ke mall. Tidak. Party pool? Tentu saja tidak. Mungkin sebab itu, aku merasa lebih mengenalnya.  Guru, koki , motivator, teman curhat dan tentunya wanita yang melahirkanku. Dialah ibuku.
***
“Mas Eko nggak pernah main keterima di SMP favorit, Mbak Dewi juga nggak pernah main, keterima di UI, Mbak Tari nggak pernah main, tapi kerjaan dateng sendiri dan gajinya 10 juta per bulan.”
Lama-kelamaan aku mulai mengerti. Bukan karena tak pernah main mereka bisa meraih kesuksesan, tetapi sosok wanita pintar di dalam rumahlah yang mendidik dan membentuk karakter mereka. Karena seorang ibu adalah madrasah. Begitulah penggalan dari syair Muhammad Hafiz bin Ibrahim, penyair dari Mesir.
Memang benar aku tak pernah main di luar rumah, namun itu bukanlah yang disebut MKKB (Masa Kecil Kurang Bahagia), melainkan inilah kebahagiaan yang sesungguhnya dimana aku bisa lebih mengenal sosok wanita tangguh yang menjadi guru pertama bagi anak-anaknya,  ibu mengajariku bagai guru privat, namun bedanya ini gratis .
“Berakit-rakit dahulu berenang-renang kemudian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Kamu disini tidaklah sia-sia. Lihat di luar sana, teman-temanmu sekarang sedang tersenyum, namun kita lihat esok. Jika mereka tetap seperti itu, apakah merekah masih akan tetap tersenyum? Bersakit-sakitlah dahulu sampai akhirnya kamu akan tersenyum,” kata ibuku sambil menepuk-nepuk bahuku.Rangkaian kata-kata itu ia sampaikan karena ia tahu ragaku berada di dalam rumah, namun pikiranku melayang-layang diluar sana. Waktu itu aku menganggap perkataannya hanyalah omong kosong. Namun aku salah. Dimasa remajaku kini, aku tidak melihat teman sepermainanku yang dahulu rutin bermain di luar rumah tersenyum bahagia sepertiku, yang aku lihat hanyalah kegalauan di raut muka mereka. Mungkin inilah pesan terindah dari ibu untukku. Ibu telah mengajariku banyak hal. Ibu mengajarkanku arti kehidupan dari balik jendela.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembiayaan Usaha Baru

         Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syariah ...