Jendela
Kehidupan
Aku merasa ada
sesuatu yang berubah. Diusiaku yang ke-17 ini, aku merasa lebih mengenalnya,
lebih dekat dengannya. Tatapannya kepadaku pun berubah. Cara bicaranya juga
berubah seiring berjalannya waktu. Mungkin ia menganggapku telah cukup dewasa.
Ia kini sangat mengerti keadaanku. Galauku, bahagiaku, malasku, sedihku,
kecewaku. Ia tahu semua apa yang aku rasakan. Remedial yang selalu datang menghampiriku saja tak jadi masalah
untuknya, tak seperti sembilan tahun yang lalu.
Saat itu aku
tak mengerti mengapa ia berjuang sampai sekeras itu. Segala cara ia lakukan
agar aku mendapatkan peringkat pertama di kelas. Yang aku tahu itu hanyalah
ambisinya saja. Mulai dari mengajariku membaca, menulis, sampai menghitung,
tetapi itu hal biasa. Yang aku kagum adalah kemampuannya menguasai semua mata
pelajaran,kecuali olahraga. Dipukul, dicubit, dibentak. Ya. Itu sudah menjadi
hal biasa bagiku. Aku ingat ketika itu aku menangis, aku tidak ingin sekolah
rasanya.
“Kalau kamu
punya masalah, ayo cerita. Jadi nanti bisa kita selesaikan bersama-sama.”
Aku menggeleng. Diriku dipenuhi rasa
takut dan malu. Aku hanya bisa menatap wajahnya dan tak mengucap satu kata pun.
Setiap hari ia mengecek bukuku. Tak pernah bosan. Akulah yang bosan melihatnya
seperti itu. Tangannya yang kuat membedah bukuku satu persatu, halaman demi
halaman. Sampai akhirnya..
“Ketemu!!” ia menarik tanganku dan
menyuruhku duduk disampingnya. Apa yang ketemu? Ia diam sejenak, tak lama
kemudian ia berkata “Ayo kita mulai belajar.” Apakah ia tahu apa yang tidak
kupahami selama ini? Ya. Materi pelajaran yang sulit . Hal yang membuatku
menangis itu bisa ia atasi. Ia membuat ku memahami apa yang diajarkannya hanya
dalam sekejap. Lagi-lagi aku menatap
wajahnya. Bagaimana bisa?
Bahasa
inggris. Itu perkata mudah baginya. Matematika. Aku tak pernah meragukan
kemampuannya dalam menghitung. IPA. Ia mengajariku seperti seorang ahli. Dan
lihatlah. Angka seratus menghiasi buku tulisku setiap hari.
***
“Fian..fian, main yok!” Begitulah temanku memanggil namaku. Ketika itu aku masih
berumur enam tahun. Wajah bahagiaku muncul. Sampai ketemu nanti buku-bukuku,
teman-temanku telah datang. Aku berlari meraih gagang pintu “Ya, tunggu.”
“Fiannya nggak boleh main!” Kata-kata itu melesat
bersamaan dengan suaraku yang nyaring. Begitu cepat. Sangat cepat. Belum sampai
aku membuka pintu, suaranya telah mengalahkanku. Teman-temanku pun akhirnya
pergi. Ingin sekali aku mengejar mereka tapi apalah daya.
Namun ia tak
sekejam itu. Hal itu ia lakukan jika aku belum mengerjakan pekerjaan rumah
alias PR. Jika aku sudah mengerjakan PR ia memberiku kebebasan untuk bermain.
Pernah, suatu ketika temannya teman sahabatku jatuh sakit. Sahabatku pun
mengajakku untuk menjenguknya. Aku tak kenal bahkan tak tahu siapa orang yang
sakit itu, namun sahabatku sangat memaksa agar aku menemaninya. Sebagai sahabat
yang baik, kuturutilah keinginannya. Kami pergi setelah bermain lompat karet.
Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 05.00 sore hari. Hatiku sedikit
bergemuruh ketika ingat sebuah pesan yang kudapat sebelum berangkat. “Ingat, jangan
main sampai maghrib!”
Entah kenapa waktu berjalan begitu
cepat. Bedug telah berbunyi. Azan maghrib pun berkumandang. Bagaimana ini?
Kakiku gemetar. Akupun mengajak sahabatku untuk pulang. Setelah berpamitan aku pun
lari seribu kaki bak maling motor yang dipergoki warga telah mencuri motor ninja.
Akhirnya
sampai di rumah. Pelan-pelan pagar kubuka. Berdecit namun sedikit. Lalu kuketuk
pintu tiga kali. Tok, tok, tok. Tak
lama pintu pun terbuka dan sesosok wanita dengan menggunakan mukena berdiri
tepat di depanku. Tatapan matannya yang tajam tertuju kepadaku. Kami saling
menatap. Kuharap ia memalingkan wajahnya. Ternyata tidak, akulah yang kalah,
memalingkan wajahku ke arah tanganku yang gemetaran. “Tidak boleh main.” Itulah
kalimat yang ia lontarkan sebagai hukuman kepadaku. Bukan. Mungkin itu sebuah
hadiah yang lama kelamaan menjadi kebiasaanku, bahkan menjadi gaya hidupku
sampai saat ini.
Sejak saat
itulah, sampaiku beranjak dewasa, aku tak pernah membuang waktuku untuk bermain
di luar rumah. Ke bioskop. Tidak. Ke mall. Tidak. Party pool? Tentu saja tidak.
Mungkin sebab itu, aku merasa lebih mengenalnya. Guru, koki , motivator, teman curhat dan
tentunya wanita yang melahirkanku. Dialah ibuku.
***
“Mas Eko nggak pernah main keterima di SMP
favorit, Mbak Dewi juga nggak pernah
main, keterima di UI, Mbak Tari nggak
pernah main, tapi kerjaan dateng sendiri dan gajinya 10 juta per bulan.”
Lama-kelamaan
aku mulai mengerti. Bukan karena tak pernah main mereka bisa meraih kesuksesan,
tetapi sosok wanita pintar di dalam rumahlah yang mendidik dan membentuk
karakter mereka. Karena seorang ibu
adalah madrasah. Begitulah penggalan dari syair Muhammad Hafiz bin Ibrahim,
penyair dari Mesir.
Memang benar
aku tak pernah main di luar rumah, namun itu bukanlah yang disebut MKKB (Masa
Kecil Kurang Bahagia), melainkan inilah kebahagiaan yang sesungguhnya dimana aku
bisa lebih mengenal sosok wanita tangguh yang menjadi guru pertama bagi
anak-anaknya, ibu mengajariku bagai guru
privat, namun bedanya ini gratis .
“Berakit-rakit
dahulu berenang-renang kemudian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang
kemudian. Kamu disini tidaklah sia-sia. Lihat di luar sana, teman-temanmu sekarang
sedang tersenyum, namun kita lihat esok. Jika mereka tetap seperti itu, apakah
merekah masih akan tetap tersenyum? Bersakit-sakitlah dahulu sampai akhirnya kamu
akan tersenyum,” kata ibuku sambil menepuk-nepuk bahuku.Rangkaian kata-kata itu
ia sampaikan karena ia tahu ragaku berada di dalam rumah, namun pikiranku
melayang-layang diluar sana. Waktu itu aku menganggap perkataannya hanyalah
omong kosong. Namun aku salah. Dimasa remajaku kini, aku tidak melihat teman
sepermainanku yang dahulu rutin bermain di luar rumah tersenyum bahagia sepertiku,
yang aku lihat hanyalah kegalauan di raut muka mereka. Mungkin inilah pesan
terindah dari ibu untukku. Ibu telah mengajariku banyak hal. Ibu mengajarkanku
arti kehidupan dari balik jendela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar